ONLINELUWURAYA.COM, PALOPO — Calon Legislatif (Caleg) DPR RI, dr. Ani Nurbani jadi narasumber pada acara bedah buku “Opu Daeng Risaju, Macan Betina dari Timur” yang digelar oleh Srikandi Pemuda Pancasila (PP) Kota Palopo, di Aula VIP Social Bum Mega Plaza, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Senin (24/12/18)
Kegiatan yang mengusung tema “Sekali Layar Terkembang, Surut Kita Berpantang” itu, juga dihadiri narasumber lainnya seperti Irmawati Syahrir Ketua DPW Sulsel Srikandi PP, HJ. Nurlina Kadis Pemberdayaan Perempuan Kab. Luwu, Hj. Hasriani Wakil Ketua DPRD Kota Palopo, Enny Thahar Wakil Ketua TIM Penggerak PKK Luwu Utara dan Ketua Srikandi Pemuda Pancasila Palopo Sharma Madeyang.
Dihadapan peserta bedah buku, dr. Ani Nurbani selaku Wakil Ketua TP-PKK Lutim memaparkan betapa sulitnya menjadi Opu Daeng Risadju, penentang kolonialisme diusia senja.
“Ya’ dia adalah perempuan. Ada apa dengan perempuan? Mengutip kata Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Prancis, “manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana ia dipenjara.” Begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana ia dipenjara,” ujarnya.
Lanjut Ani, bahwa apakah ada diantara kita yang memilih untuk menjadi perempuan? Apakah Opu Daeng Risadju memilih untuk menjadi perempuan? Ketika lahir, alat kelamin sudah ditentukan oleh Tuhan. Karena perbedaan kelamin, perbedaan peran sosial pun lahir. “Perempuan” adalah peran sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dan bukan oleh alam.
“Semua orang memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan, sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan sembilan bulan lamanya.
Ketika pertama kali menginjak dunia, setiap orang juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa perempuan, keluarga akan tersesat di jalan,” ujar Ani yang juga Caleg DPR RI Dapil III Sulsel.
Menurutnya, beberapa perempuan sudah menyerah, tapi Opu Daeng Risadju tidak, Ia melihat penindasan bukanlah takdir yang mesti dijalani sekaligus melihat penjajahan bukanlah bagian dari hidup nya dan tidak ingin dijajah serta menolak dijadikan komoditi.
Dari itu kata Ani, opu Daeng Risadju berusaha melawan. Ia ingin mengungkap berbagai penindasan yang terjadi dan melakukan perubahan sosial. Musuh utamanya adalah mental patriarki, mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan serampangan.
Kisah itu, kita belajar, sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan. Perempuan mesti sadar, bahwa peran sosial yang perempuan jalani bukanlah sebuah kemutlakan. “Pilihan ada di tangan perempuan, kehidupan bertopang di bahu perempuan. Perempuan mesti bangkit dari perasaan tidak berdaya,” imbuhnya.
Masih dikatanya, kunci perubahan sosial adalah perubahan dimana cara perempuan memandang dunianya. Kaum perempuan bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan pembebasan lainnya. Namun, pengalaman perempuan tetaplah sebuah pengalaman yang unik, yang tak tergantikan oleh apapun juga.
Perempuan hebat adalah perempuan yang mampu menyuarakan kebenaran di ruang publik. Dan sudah saatnya kita (perempuan-red) menjadi elemen penting dan strategis dalam pengambilan kebijakan untuk pembangunan bangsa, karena menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan, tandas dr. Ani Nurbani disambut tepuk tangan seluruh peserta yang hadir.
Untuk diketahui, Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu Daeng Risadju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah. (*)