ONLINELUWURAYA.CO, MAKASAR — Di Sulawesi Selatan Sagu menjadi salah satu makanan pokok masyarakat khususnya di wilayah Luwu Raya. Sagu juga punya potensi ekonomi yang menjanjikan jika dibudidaya dan dikelola dengan baik..
Mendengar kata Sagu terkadang langsung terlintas diingatakan kita adalah Kapurung. Apa lagi bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di wilayah Luwu raya menu kapurung bisa dikata sudah menjadi menjadi pokok masyarakat disana.
Namun bicara soal komoditi Sagu tidak hanya bicara soal Kapurung saja, saat ini sagu sudah diolah menjadi berbagai jenis makanan dan kue. Bahkan ada yang membuat mie hingga spageti dengan bahan dasar sagu.
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sadar betul akan potensi besar dari sagu tersebut, dan tidak berhenti untuk memastikan jika komoditi sagu ini dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. ” Secara khusus kami telah menerbitkan peraturan daerah dalam rangka perlindungan dan pengembangan budidaya sagu di Luwu Utara” kata Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani. Selasa (14/12/2021)
Indah menambahkan, Sagu ini juga sudah menjadi identitas masyarakat Luwu Raya, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjaga keberadaanya dengan berbagai upaya terutama mendorong budidaya sagu.
Jumat (10/12/2021) yang lalu, Indah juga banyak mengulas tentang potensi sagu dalam forum diskusi yang digelar oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menggelar Riset pengembangan inovatif kolaboratif (RPIK) Sagu denan tema “Lovely December With Sago” di STP Unhas Makassar.
Pada kesempatan itu, Indah mengungkapkan potensi ekonomi dari pengembangan atau budidaya sagu. Dari hasil penelitian satu batang sagu di Luwu Utara bisa menghasilkan 700 kg sagu per satu batang sagu.
” Kalau kita bandingkan salah satu daerah penghasil sagu itu hanya di kisaran 250 kg sampai 350 kg per satu batang pohon sagu,” jelas Indah.
” Setelah kita hitung hitung dan melakukan kajian terkait prospek bisnisnya, untuk satu hektar lahan bisa ditanami 130 sampai 150 pohon sagu dalam kurun waktu enam sampai tujuh tahun, itu bisa menghasilkan minimal Rp1 miliar rupiah, dan kita tidak perlu menanam lagi karena sagu ini terkenal bisa berkembang secara alami karena ada anakan” beber Indah.
Hanya saja saat ini yang menjadi tantangannya adalah pada saat memulainya adalah terkait masa tunggu. Oleh karena itu hasil kajian dari lembaga penelitian dan pengembangan Kementerian Pertanian kemudian dari Unhas selama ini yang sudah melakukan interfensi dan pendampingan. “Interfensi ilmu pengetahuan dan teknologi saya yakin bisa memperpendek masa tunggu” tutur ibu dua anak itu.
Dalam forum diskusi itu juga hadir Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan, Asosiasi Chef Indonesia. Indah mengajak PHRI untuk berkolaborasi untuk ikut mengembangka sagu dengan cara menyajikan menu makan berbahan dasar sagu di hotel atau restoran berbintang.
“Salah satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagi petani adalah pasar. Setelah melakukan budiaya, salah satu upaya yang bisa kita lakukan agar petani sagu ini lebih punya percaya diri dan optimisme tinggi adalah dukungan dari PHRI, bagaimana kedepan di hotel hotel berbintang juga disajikan menu makanan berbahan dasar dari sagu” harap Indah.
Apa lagi sagu ini bisa diolah menjadi berbagai jenis makana dan kue. Bahkan suda ada yang mengolahnya menjadi mie bahkan spageti.
” Saya membayangkan kita bisa menikmati kapurung di hotel berbintang, atau saat ada rapat rapat kue yang disajikan itu juga ada yang berbahan dasar sagu. Kami tentu berharap banyak dengan membangun kolaborasi pemerintah dengan PHRI dan juga perguruan tinggi terkait hal itu,” tutup Indah. (*)